Di sebuah warung kecil di pinggir jalan, angin sore berhembus pelan. Kursi-kursi plastik berjejer rapi, menemani pelanggan yang menikmati hidangan sederhana. Di sudut warung, seorang pemuda duduk sendirian, menatap gelas es teh yang mulai mencair.
Dari kejauhan, seorang wanita mendekat. Ia membawa segelas es teh yang sama, lalu tanpa ragu duduk di hadapan pemuda itu. “Kamu selalu suka es teh, ya?” tanyanya sambil tersenyum.
Pemuda itu terkejut, lalu mengangguk pelan. “Dingin, manis, menyegarkan… seperti kenangan lama yang tak pernah pudar,” jawabnya sambil mengaduk es teh dengan sedotan.
Wanita itu tertawa kecil. “Kamu masih suka berbicara dengan metafora.”
ssssssxsxsxxsxssxx
Hening sejenak. Pemuda itu menatap wanita di depannya, seseorang yang pernah mengisi hari-harinya, sebelum akhirnya pergi tanpa kata. “Aku pikir, kita nggak akan bertemu lagi,” katanya pelan.
“Aku juga,” jawab wanita itu. “Tapi ternyata, semesta membawa kita kembali ke tempat yang sama. Di meja ini, dengan segelas es teh yang sama.”
Mereka kembali terdiam. Es teh dalam gelas mereka semakin mencair, seperti waktu yang perlahan melebur kenangan lama.
jvkjkhblnkl;mljhlkj;kj
“Apa kita bisa mulai lagi?” tanya pemuda itu akhirnya.
Wanita itu tersenyum, lalu mengambil sedotan dan menyeruput es tehnya. “Mungkin, kita bisa menikmati teh ini dulu. Lalu lihat ke mana takdir membawa kita.”
Sore semakin meredup, dan di meja kecil itu, dua hati yang dulu terpisah kembali menemukan hangatnya kebersamaan—meski dalam segelas es teh yang dingin.
✨ Tamat ✨
