Liburan kenaikan kelas telah tiba. Anak-anak sekolah pada punya rencana masing-masing akan berlibur kemana. Tak terkecuali Ranti yang biasa menghabiskan masa-masa liburannya dengan berlibur ke tempat-tempat wisata dan tempat bersejarah. Bahkan tidak jarang dia berlibur ke luar negeri bersama orang tua dan saudara-saudaranya. Maklumlah, dia kan anak orang kaya. Lagipula kakak-kakaknya kuliah di luar negeri.
Akan tetapi liburan kali ini ada yang berbeda dengan rencana Ranti. Padahal jauh-jauh hari orang tuanya mengajaknya ke tempat kakak sulungnya di Oxford. Entah mengapa kali ini dia menolak ajakan orang tuanya. Mungkin bosan kali ya dan ingin mengganti suasana luar negeri pada suasana baru.
"Ranti, liburan mendatang kita akan menyambangi kakakmu di Oxford", suatu hari ayah Ranti memulai obrolan.
"Bosan ah keluar negeri melulu, naik pesawat, sampai negeri orang, belanja barang mewah, bising, dan lain-lain", Ranti menjawab sekenanya.
"Memangnya kamu mau berlibur kemana?", ibunya menimpali.
'Pokoknya kali ini Ranti mau berlibur ke tempat yang belum pernah Ranti datangi"
"Memangnya dimana, kalau di kota ini kan pernah kamu datangi semua", jawab ibunya dengan kalem.
"Ada deh...rahasia", lagi-lagi Ranti menjawab sekenanya sambil terus memainkan ujung jari jemarinya pada keybord laptop di depannya.
Setelah didesak oleh ibunya, Ranti bercerita tentang percapakannya bersama Dila, sahabatnya di sekolah.
"Ran... kamu mau ke luar negeri lagi ya?", kata Dila.
"Papa sih ngajaknya ke luar negeri, memangnya ada apa?", jawab Ranti.
"Tidak ada apa-apa bertanya saja", kata Dila lagi. "Memang kamu mau liburan kemana Dil?", tanyanya pada Dila.
"Kalau aku sih paling liburan ke rumah nenek saja di desa", jawab Dila.
Entah mengapa seperti ada tali yang menjerat seketika perasaan Ranti terikat kuat ingin ikut ke desa bersama Dila. Maka Rantipun mengutarakan isi hatinya kalau dia akan ikut Dila ke desa. "Hah? Kamu mau ikut aku ke desa? Yang benar sajalah Ran", seolah tak percaya Dila membelalakkan mata.
"Iya Dil aku serius", jawabnya dengan mantap. Begitulah Ranti bercerita pada ibunya.
"Jadi Ma aku tuh mau berlibur ke rumah nenek Dila di desa. Boleh ya Ma, boleh....", suara Ranti merajuk.
"Memang di desa ada apa?", ibunya bertanya.
"Ya tidak ada apa-apa, cuma ingin tahu suasana desa saja. Dila bilang di sana tuh pemandangannya indah, banyak sawah, ada kebun buah, ada peternakan, kolam ikan, dan yang paling aku ingin tahu ada sumber mata air yang sangat jernih dan orang desa biasa mandi di situ." "Oh begitu, sana bilang sama papa dulu", ibunya melanjutkan.
Tiba saat yang direncanakan tepat pukul 09.00 WIB, berangkatlah Ranti dan Dila dengan naik bis menuju terminal jurusan kota dimana nenek Dila tinggal. Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam. Ranti tampak kuyu dengan perjalanan itu karena dia tidak terbiasa naik angkutan umum. Tidak hanya sampai di situ, dari terminal mereka masih naik elp sekitar satu jam. Turun dari elp mereka menuju pangkalan ojek karena aplikasi gojek belum menjangkau daerah tersebut.
Hari mulai sore dan matahari mulai condong ke arah barat. Setelah setengah jam perjalanan melewali jalan berkelok sampailah pada hamparan sawah yang dipenuhi padi yang sedang menguning. Tak berselang lama tampak jejeran rapi gubuk kayu yang menjadi tempat tinggal penduduk desa.
"Dila... dimana rumah nenekmu?", teriak Ranti dari atas ojek.
"Sebentar lagi sampai kok", jawab Dila.
Dari kejauhan di depan rumah paling pinggir tampak seorang nenek dan beberapa anak menyambut kedatangan mereka.
Dila berteriak, "Nenek... Ifa....adik-adikku yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng"
Mereka menyambut kedatangan tamu dari kota dengan riang gembira.
Ranti tampak termangu melihat bocah-bocah berbalut baju panjang dan kerudung. Padahal mereka masih kecil-kecil. -Anak-anak kecil sudah pada tutup-tutupan-, hatinya menggerutu namun tidak berani melontarkan dengan kata-kata. Ada ciut di hati untuk berbicara spontan sebagaimana sering dia lakukan pada teman-temannya di kota.
"Alhamdulillah cucu nenek sudah sampai. Ini temannya ya nduk?", ucap nenek.
"Enggih nek, ini Ranti teman sekolah Dila",:jawab Dila sembari memeluk nenek lalu mencium tangannya berkali-kali. Kemudian beralih memeluk bocah-bocah yang sedari tadi menemani nenek.
Diantara mereka ada gadis belia sepadan Dila dan Ranti. Dialah Ifa sepupu Dila. Umurnya tidak terpaut jauh dengan Dila, cuma lebih tua beberapa bulan saja. Ranti menyalami nenek juga Ifa. Tak lupa pula mencolek pipi bocah-bocah mungil di depannya.
Ifa menyilahkan Dila dan Ranti masuk rumah dan menunjukkan kamar tempat mereka selama berlibur. Setelah membersihkan badan dan berganti baju, mereka duduk di serambi sambil menikmati teh hangat dan jagung rebus yang masih mengepulkan asap kesukaan Dila.
Dia mencomot jagung yang paling besar dan langsung melahapnya. Ranti hanya duduk termangu melihat temannya menikmati suguhan nenek. Dalam hatinya bergumam, "Bagaimana enaknya makanan ini ya, kok Dila lahap sekali?"
"Ayo serobot Ran, enak lho jagung rebus. Rasanya manis sekali, ada krenyes-krenyesnya juga. Ini nenek baru metik di kebun belakang. Ini jagung organik tidak terkontaminasi pupuk kimia", suara Dila mengejutkan Ranti yang asyik dengan lamunannya.
"Ini alami lho tidak seperti makanan olahan yang sering keluargamu konsumsi. Sumpah ini lebih sehat dari makanan yang diproduksi pabrik", lanjut Dila.
"Oh ya?", mimik Ranti tampak lucu.
"Oh ya, oh ya... cepat ambil", perintah Dila.
Seperti kerbau dicocok hidung segera diambilnya jagung rebus dari piring. Dicicipinya jagung itu "Iya enak seperti aroma popcorn", kata Ranti.
"Iya popcorn itu kan dari jagung", sungut Dila sambil mengunyah makanannya.
Matahari hampir tenggelam di ufuk barat menandakan sebentar lagi adzan magrib akan segera berkumandang. Bocah-bocah desa mulai berdandan rapi dan segera menuju mushalla yang ada di ujung desa untuk mengaji. Mereka berbondong-bondong dengan Al Qur an dan sajadah yang diselempangkan pada bahu masing-masing. Sejenak Ranti takjub. Bersamaan dengan itu Ifa melintasi serambi.
"Ifa kamu mau berangkat ke mushalla?", sapa Dila. "Iya, aku berangkat dulu ya. Assalamualaikum", sambil tersenyum Ifa pamit pada keduanya.
"Waalaikusalam", serentak keduanya menjawab salam.
Setelah isya' Ifa pulang dari mushalla.
"Assalamualaikum", terdengar suara Ifa memanggil salam. Tidak ada jawaban.
"Kemana mereka ya?" batin Ifa.
Setelah dia masuk terdengar suara riuh di belakang. Ternyata mereka membantu nenek di dapur menyiapkan makan malam.
"Eh, ternyata kalian di sini, pantesan tadi waktu aku panggil salam di depan tidak ada yang menjawab", suara Dila memecah kesibukan di dapur.
"Astaghfirullah, terkejutnya aku Fa, kirain siapa", kata Dila.
"Ini lho Ranti katanya mau belajar masak. Memasak air saja dia tidak bisa", Dila melanjutkan.
"Ih, Dila bikin malu aku saja", Ranti mencubit lengan Dila sambil bersungut-sungut.
Ifa membantu menata makanan di atas meja usang yang ada di ruang makan, tepatnya di tepi dapur karena meja itu masih ada di kawasan dapur.
Setelah itu mereka menikmati hidangan yang sudah disiapkan. Ranti masih asing dengan masakan desa. Untungnya dia membawa bekal makanan olahan berupa sosis, tempura dan naget dari rumahnya. Jadi sementara dia makan dengan lauk itu ditambah ayam goreng dari ayam yang disembelih ayah Ifa tadi siang. Ranti dan Dila makan dengan begitu lahapnya karena seharian telah melewati perjalanan panjang yang cukup melelahkan.
Setelah makan kembali mereka duduk-duduk di serambi. Sambil menikmati sinar rembulan yang kebetulan tanggal lima belas mereka asyik bercengkrama. Sinar rembulan tampak bersinar terang karena memang belum ada penerangan listrik.
Lalu muncullah Ifa membawa nampan yang berisi wedang jahe hangat dengan pisang rebus.
"Fa, sini duduk bersama kami. Ranti ingin tahu lebih banyak tentang desa ini", perintah Dila. Dengan santun Ifa bergabung dengan mereka.
"Ran, Ifa ini sepupuku. Ibunya adalah adik dari ayahku. Jadi ayahku berasal dari desa ini, sedang ibuku asli orang kota tempat kita tinggal. Jadi aku ini separuh orang kota separuh orang desa. He he...", Dila mulai berceloteh.
"Ifa juga sekarang kelas enam seperti kita. Dia pinter lho. Dari kelas satu sampai kelas enam selalu mendapat juara kelas. Pokoknya hebat deh. Dia juga rajin beribadah, rajin membantu orang tua, dan rajin-rajin yang lain", cerocos Dila tanpa jeda sampai Ranti termangu.
"Kamu kalau bicara sampai tidak bernafas Dil", kata Ifa lembut.
"Beri kesempatan Ranti ngomong dong", lanjutnya masih dengan suara lembut.
Dila pura-pura cemberut dan ngambek. Tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
"Memang kebiasaan Dila kalau ngomong tidak bernafas tuh Fa", celetuk Ranti.
"Takut ada yang rebut", lanjutnya.
"Betul, tapi tepatnya takut lupa", seraya menutup mulutnya dengan tangan Dila menjawab.
Sambil menikmati pisang rebus Ifa berkata, "Pisang rebus ini enak sekali Ran. Ini adalah buah pisang yang ditanam almarhum kakek dulu. Dila sering mendapat kiriman pisang ini kalau lagi panen. Dia suka sekali. Pokoknya Dia suka semua makanan yang berasal dari desa ini"
"Dil, kenapa kamu tidak pernah bagi-bagi pisang ke aku?", Ranti tampak cemberut memandang wajah Dila yang masih tertawa.
Dila tersentak lalu menjawab, "Aku kira kamu tidak suka pisang. Kan biasanya kamu makan buah impor. Pisang kan buah lokal.
Ya nanti kalau dapat kiriman pisang dari sini lagi kamu akan aku beri", Dila menghentikan tawanya dan menjawab.
"Oh ya Fa, kamu kan belum tahu tentang Ranti. Dia ini papanya pengusaha sukses. Kantornya dimana-mana. Kakak-kakaknya kuliah di luar negeri. Rumahnya besar dan bertingkat. Mobilnya banyak. Kalau ke sekolah diantar sama sopir pribadi", Dila memperkenalkan latar belakang Ranti pada Ifa.
"Dia sudah bosan berlibur ke luar negeri. Makanya memutuskan ikut aku berlibur kesini", lanjutnya bersemangat.
"Benarkah itu Ranti?", tanya Ifa lembut.
"He eh, iya", jawab Ranti singkat.
Waktu seakan merangkak begitu cepat sehingga tak terasa jarum jam menunjuk ke angka sepuluh. Mereka sepakat untuk tidur dan bercerita lagi esok hari.
Sinar matahari sangat terik. Di halaman terhampar gabah yang dijemur. Sesosok gadis tampak meratakan gabah dengan garukan padi. Kalau tidak dilihat dari dekat, tidaklah tahu kalau itu Ifa karena tubuhnya terbalut baju tebal, kaos tangan, sepatu panjang dan caping lebar.
Sementara di gardu yang ada di bawah pohon mangga duduklah dua gadis kota yaitu Ranti dan Dila.
"Iiiiiih... badanku kok gatal- gatal ya?", gerutu Ranti.
"Alergi apa ini? Padahal aku sudah perawatan kulit. Aduh, bagaimana ini?", sambil garuk-garuk Ranti terus nyerocos.
"Dil, kamu tidak gatal?", tanyanya pada Dila.
"Tidak", jawab Dila singkat.
Ranti nyaris menangis saat melihat kulitnya bentol-bentol dan kemerahan. Dia takut kulitnya jadi rusak.
"Payah hidup di desa. Sudah tidak ada listrik, tidak ada AC, pokoknya serba tidak enak", sungutnya.
"Sabar, nanti setelah mandi air sumber pasti sembuh kok", bujuk Dila.
Ifa yang mendengar obrolan mereka tersenyum tipis di bawah caping yang melindunginya. Namun hatinya agak khawatir Ranti alergi gabah. Karena kalau alergi gabah biasanya lama sembuhnya dan gatalnya luar biasa.
Nenek yang sedari tadi memperhatikan Ranti garuk-garuk sekujur tubuhnya, dian- diam menumbuk daun kemangi untuk olesan gatal-gatal. Nenek mendekati gardu dan memberikan air itu pada Ranti untuk dioleskan pada gatal-gatal yang dialaminya.
"Nduk, coba oleskan ramuan ini ke kulitmu yang gatal. Mungkin bisa mengurangi rasa gatalmu", nenek memberikan petunjuk.
"Nggeh Nek", jawab Ranti lalu dengan ragu mulai mengoleskannya pada bentolan di kulitnya.
"Kalau kamu alergi gabah pasti gatalnya akan berkurang dengan ramuan ini", lanjut nenek.
Sementara Ifa masih terus membolak-balik gabah yang dijemur, tiba-tiba Ranti berteriak memanggilnya, "Ifa, sini dulu"
Ifa mendekatinya sambil tersenyum lembut.
"Memangnya kamu tidak gatal ya, mengulek-ulek gabah tiap hari?"
Ifa menggeleng sambil terus tersenyum.
"Aneh, tiap hari berteman gabah tapi tidak gatal-gatal. Aku yang baru sekali ketemu gabah langsung kena", gumam Ranti.
"Itu artinya gabah tidak mau berteman sama kamu", olok Dila.
"Ih, kamu jangan sering mengolok-olok aku Dil", Ranti mendongkol sambil mencubit lengan Dila. "Ah santai lagi besti, jangan ngambek. Jelek tahu", sambil menjulurkan lidah Dila masih mengolok Ranti.
"Eh ada cerita Ran, katanya kalau ada orang kota datang ke sebuah desa terus dia alergi dengan sesuatu yang ada di desa tersebut akan mendapat jodoh di desa itu", Ranti mengejar Dila yang berlari saat mengucapkan kata-kata itu.
Hari mulai sore, Ranti sesekali menggaruk tubuhnya yang sudah mulai berkurang rasa gatalnya. Ifapun sudah menyelesaikan pekerjaan menjemur gabah. Dila sibuk membantu nenek mencabut singkong di ladang untuk menu nanti malam, soto singkong. Tak berselang lama Dila muncul sambil menggotong beberapa potong singkong sebesar lengannya.
"Ranti, coba lihat apa ini?", sapanya pada Ranti yang masih sibuk menggaruk tubuhnya.
"Kamu tahu tidak?", lanjutnya dengan nada menggombali Ranti.
"Tidak", jawab Ranti ketus sambil terus menggaruk tubuhnya.
"Aduh! Kalau begini terus akan jadi masalah ini. Bisa-bisa kalau pulang ke kota nanti aku kena hukum", gerutu Dila pelan nyaris tidak terdengar. Tapi Ranti mendengar apa yang diucapkan Dila.
Dengan bersungut-sungut dia menakut-nakuti Dila, "Iya nanti aku adukan kamu sama papa mamaku biar dilaporkan ke polisi. Gara-gara ikut kamu kulitku jadi gatal-gatal. Kamu tahu tidak, biaya perawatan kulit itu mahal"
Awalnya Dila biasa-biasa saja saat Ranti gatal-gatal. Akan tetapi setelah melihat kulit Ranti yang lecet-lecet hatinya ciut juga. Bagaimana kalau Ranti tidak sembuh dan kulitnya rusak. Kan gara-gara ikut ke desa jadi begitu. Dila tampak menunduk lesa memikirkan semua itu. Tapi hatinya masih menyangkal bukankah Ranti sendiri yang mau ikut liburan bukan Dila yang ngajak?. Yah biarlah nanti akan aku katakan kalau Ranti yang maksa ikut bukan aku yang ngajak, hiburnya pada dirinya sendiri.
"Dila... mana singkongnya?", teriak nenek dari belakang.
"Iya nek tunggu sebentar", jawab Dila.
Kemudian Dila menghilang ke dapur seraya menenteng singkong. Sementara Ranti termangu sambil menggaruk bagian tubuhnya yang masih gatal.
Ifa muncul membawa kain sarung dan pakaian bersih serta peralatan mandi. Tidak lupa menenteng ember dan gayung.
"Ranti, yuk kita mandi di sumber biar gatal di kulitmu berkurang" Ifa mengajak Ranti.
"Dila mana?" lanjutnya.
"Barusan ke belakang naruh singkong ke dapur" jawab Ranti. Sebentar kemudian Dila muncul sambil membawa baju bersih dan handuk.
"Sana cepat ambil baju gantimu dan handuk!" perintah Dila pada Ranti. Dengan ogah-ogahan Ranti menyeret kakinya ke kamar untuk mengambil baju. Kemudian kembali lagi sambil membawa baju, handuk serta peralatan mandi yang dia bawa dari kota.
"Yuk kita berangkat agar tidak keburu malam" seru Ifa.
"Yuk..." jawab Ranti dan Dila serentak.
Jalan menuju sumber sedikit menanjak. Di kanan kiri jalan berjejer pohon buah-buahan seperti mangga, nangka, jambu, durian, bahkan di beberapa tempat terlihat rumpun pohon salak dan nanas liar.
Di ladang para petani ada pohon pisang, semangka, melon, belewah, juga ada tomat, lombok, kangkung, sawi dan bermacam-macam sayur yang lain.
"Wah! banyak buah di sini" celoteh Ranti seperti burung yang baru terbebas dari sangkar yang memenjarakannya.
"Itu mangga buahnya banyak" seraya menunjuk pohon mangga yang berbuah lebat.
"Itu pohon apa yang buahnya bergelantungan seperti kelapa?" tanyanya menunjuk sebuah pohon yang menjulang tinggi.
"Tapi bukan kelapa, apa ya kok aneh?" gumamnya.
Ifa yang berjalan di belakangnya tersenyum tipis, lalu menimpali, "Itu namanya buah siwalan bukan sialan ya, biji buahnya manis sangat enak dijadikan es siwalan. Apalagi gulanya pakai gula siwalan juga" jawab Ifa kalem.
Ranti hanya termangu mendengar jawaban Ifa, sementara Dila masih asyik memperhatikan pemandangan alam di sekitarnya. Maklumlah, sudah lebih dari satu tahun dia tidak pernah mengunjungi nenek.
"Wah, orang kota ya" tiba-tiba muncul seorang petani dari balik semak sambil membawa buah mangga yang ranum-ranum.
"Iya Pak, ini saudara sepupu Ifa" jawab Ifa.
"Dan ini temannya" sambil menunjuk Ranti yang masih terkejut dengan kemunculan pak tani tersebut.
"Neng-neng ini mau ke sumber tah? Mau mangga neng?" lanjut pak tani.
"Enngih pak Somad" Ifa menjawab sembari menjulurkan tangannya menerima mangga yang diulurkan pak tani itu.
Kebiasaan di desa tidak baik menolak pemberian orang apalagi memang sudah sangat dikenalnya. Begitupun dengan Ifa tanpa kata menolak langsung menerima pemberian mangga tersebut.
Tak terasa sampailah mereka ke sumber yang dituju. Tidak ada yang menjadi tabir penutup sumber itu kecuali hanya beberapa lembar anyaman daun kelapa yang dijejer rapi agar orang yang mandi di tempat itu tidak terlihat langsung oleh orang yang sedang lewat. Lagi-lagi Ranti berteriak.
"Ahay...jernih sekali airnya! Itu airnya dalam apa dangkal ya?" seolah dia lupa gatal yang menderanya sejak pagi. Sebelum ada jawaban dari temannya, Rantipun mulai memasukkan kakinya di pinggir sumber.
"Asik, airnya sejuk sekali"
Setelah meletakkan handuk dan baju di tempat yang telah tersedia, Dila dan Ifa menceburkan diri ke sumber. " Iiih curang kalian, aku ditinggal"
"Ayo, sini langsung terjun. Kamu bisa berenang kan?"
Tanpa diperintah dua kali Ranti langsung terjun ke sumber.
"Wow! Rambutmu indah dan kulitmu bening sekali Fa. Pakai sampo dan sabun apa?" Ranti terpesona dengan kemilau rambut Ifa yang panjang, hitam dan mengkilat. Pun juga dia kagum dengan kulit Ifa yang bening tampa cidera.
Ifa tersipu malu mendapat pujian Ranti.
"Aku pakai sampo ini," seraya memperlihatkan botol sampo yang biasa dipakainya.
"Sampo apa namanya kok tidak ada labelnya" lanjut Ranti heran.
"Sampo ini adalah ramuan nenek yang merupakan ramuan turun-temurun dari tetua desa. Orang-orang di desa ini kebanyakan pakai sampo seperti ini. Ini dibuat dari merang padi yang dibakar lalu direndam beberspa hari dan dicamput bubuk pinang. Air rendamannya ditampung dalam botol. Jadilah sampo". Ranti manggut-manggut menandakan dia paham.
"Sampo merang ini juga menguatkan rambut. Rambutku tidak pernah rontok. Coba lihat rambutmu, rontok tidak?" lanjut Ifa.
Rantipun mencoba menyisir rambut dengan jarinya, maka tampak beberapa helai rambut melilit jari-jarinya.
"Padahal aku sudah perawatan rambut, biayanya mahal sekali," Ranti merajuk.
Dila yang sedari tadi cuma mendengarkan ikut menyela.
"Iya dah Ranti, tidak usah sedih. Nanti biar dibuatkan juga sampo merang oleh nenek. Sekarang yuk kita pakai sampo Ifa ramai-ramai!"
Tanpa mendapat persetujuan dari Ifa, mereka langsung menyerobot sampo kesayangan Ifa. Suasana sumber jadi seru dengan teriakan mereka. Tiba-tiba Ranti berkata, Aku juga mau punya kulit sepertimu Fa"
"Aku pakai lulur. Tapi lulurku juga merupakan resep peninggalan buyut-buyut desa ini. Mau tahu lulur apa?" goda Ifa yang membuat Ranti semakin penasaran.
"Mau dong" rajuk Ranti.
"Secangkur beras yang sudah dihaluskan dicampur setengah cangkir madu. Di sini pakai susu murni karena memang adanya susu murni. Tapi yang paling bagus memang pakai susu murni lho ya. Sekali saja seminggu, dijamin tidak usah perawatan mahal di salon" jelas Ifa. Ranti mendengarkan dengan penuh antusias.
Tiba-tiba Dila mengingatkan kalau hari sudah semakin sore.
"Hai saudara-saudaraku, hari hampir gelap. Yuk, kita segera selesaikan acara kita di sini nanti kemalaman di jalan"
"Yuk!" jawab Ranti dan Ifa serentak.
Malampun tiba, mereka bertiga duduk-duduk di serambi sambil menikmati soto singkong buatan ibu Ifa. Ranti tampak menikmatinya walau baru kali ini tahu kalau singkong bisa dijadikan campuran soto.
"Huh hah" seru Ranti kepedasan. Dia tidak tahu kalau cabai desa pedasnya luar biasa. Maka Ifa menyodorkan air hangat agar pedasnya berkurang.
"Nih coba minum air hangat dulu biar pedasnya berkurang"
Ranti tampak ragu, tapi Ifa terus membujuknya sampai Ranti meminumnya.
"Coba saja, ayo minum!" lanjut Ifa. Rantipun mengikuti dan mjnum sampai air dalam gelas itu habis.
Nenek menghampiri mereka membawa nampan berisi wedang jahe yang masih mengepulkan asap seraya berkata,
"Biar kalian tidak masuk angin terutama Dila sama neng Ranti, Nenek buatkan wedang jahe"
Merekapun asik berbagi cerita pengalaman, kesukaan dan cita-cita masing-masing.
Tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Mereka beranjak menuju kamar masing-masing untuk melukis mimpi indah seraya menunggu datangnya esok hari.
"Terkadang, kebahagiaan tidak ditemukan di tempat yang ramai dan gemerlap, tetapi dalam langkah kecil menuju kesederhanaan dan ketulusan."
Kicauan burung di ranting-ranting pohon membangunkan Ranti. Dia melirik ke samping, tampak Dila masih menggeliat.
"Dil bangun, sudah pagi"
"He-eh...masih nguantuk" jawab Dila ogah-ogahan.
Sementara di dapur Ifa sudah menjerang air untuk membuat "pokak" (minuman yang terbuat dari gula siwalan dicampur serai) yang bisa menghangatkan tubuh saat cuaca dingin. Tidak lama setelah itu dia menuju serambi sambil membawa teko berisi pokak.
Tidak lupa irisan mangga yang diberi pak Somad kemarin menemani minuman pokak yang disajikan Ifa.
Pagi ini Ranti, Dila dan juga Ifa akan ikut ke sawah untuk menangkap ikan lele di sela-sela tanaman padi ayah Ifa. Merekapun bersiap-siap berangkat membawa alat penangkap lele. Sungguh pengalaman yang luar biasa menyenangkan buat Ranti karena selama ini dia tidak pernah sebebas ini. Dia anak papa-mama yang kemana-mana dijadwal dan ditemani. Baju harus selalu bersih dan rapi, penampilah harus dijaga agar tidak terlihat kumuh dan lusuh.
Tidak membutuhkan waktu yang lama beberapa ekor lele sudah berhasil ditangkap. Mereka kembali ke rumah dengan suka cita. Ranti bersenandung riang seakan baru merasakan udara bebas. Dadanya serasa baru terlepas dari himpitan beban yang begitu berat. Wajahnya yang cerah semakin bertambah cerah. Rupanya suasana desa mampu mengeluarkan semua hormon endorphin yang ada pada dirinya. Bahkan sikap dan gaya bicaranyapun berubah juga.
Baru tiga hari di desa sudah tampak berubahan besar pada dirinya. Apalagi saat duduk bersama biasanya Ifa bercerita tentang kisah-kisah teladan para Nabi. Kisah yang selama ini tidak pernah didengar saat duduk bersama keluarganya di kota.
Tidak terasa sudah seminggu Ranti ada di rumah Ifa. Rasanya Ranti merasa berat untuk kembali pulang ke kota. Dia benar-benar menikmati suasana desa dengan segala kedamaian dan ketenangannya. Diapun merasa nyaman berada di tengah-tengah keluarga Ifa. Keluarga sederhana yang tidak pernah ada cekcok di dalamnya. Keluarga yang saling menghargai di antara sesama anggotanya. Terbersit keinginan mempunyai keluarga seperti ini. Saling menghargai, saling membantu, saling peduli,tidak saling menyalahkan, tidak sibuk sendiri, pokoknya keluarga idamanlah. Hati Ranti benar-benar damai selama berada di rumah Ifa. Dia akan bercerita pada papa mamanya setelah kembali ke kota nanti tentang kedamaian desa dan keluarga Ifa, sahabat barunya.
